Friday, April 30, 2010

Sejarah Amalan Kesogehan

Sejarah Amalan Kesogehan bermula dari zaman kerajaan Islam Demak dan Mataram. Pada awalnya adalah amalan para sunan dan wali kemudian jadi ikutan para kiyai dan santri.

Orang Jawa terkenal SPTT (Sabar, Patuh, Taat, Tekun). Apabila mereka dititipkan dengan sesuatu ajaran, amalan atau panduan (Tuntunan), mereka akan menjaganya dengan cermat, penuh jujur dan amanah. Sultan Agung Raden Mas Rangsang (Mataram) sempat menukilkan Sastra Gending yakni Tuntunan Urip (Panduan Hidup). Meskipun adanya elemen mistik dalam karya tersebut tetapi mempertimbangkan situasi masyarakat Jawa Kuno pada zaman karya tersebut digarap tentunya ada satu motif khusus yang tersembunyi. Amalan Kesogehan adalah satu manual yang tidak tertulis. Ia adalah satu amalan rutin para kiyai dari dahulu sehingga sekarang yang mempunyai objektif khusus yakni mencapai Rabbana atina fi dunya hasanah, wa fil akhirati hasanah, wa kina azabannar.

Amal adalah kerja. Sogeh adalah kaya. Amalan kesogehan adalah pekerjaan yang menuju kekayaan.

Kenyataan di atas adalah satu penegasan bahawa ‘Amalan’ yang dimaksudkan dalam konteks kita ini ialah satu kegiatan praktis yang dijalankan secara rutin oleh seseorang individu yang dapat membawa kepada kejayaan dan kekayaan.

Ia tiada kena mengena dengan membaca atau meratib kalimah kalimah tertentu. Meskipun dalam amalan kesogehan kita digalakkan berzikir dan berdoa tetapi itu bukanlah elemen utama bagi amalan ini.

Umat Islam Memerlukan Satu Model Kehidupan Yang Jelas Dan Dekat

Kenapa kita memerlukan amalan kesogehan? Kerana kita memerlukan satu model untuk kita jadikan panduan bagi mengembalikan semula kegemilangan Islam di muka bumi ini. Ada satu hadis yang pernah diriwayatkan mengatakan bahawa kebangkitan semula Islam pada akhir zaman adalah berpangkalan di timur. Dari sudut geografi, wilayah Islam manakah yang lebih timur dari nusantara? Justru itu, tidakkah kita teringin untuk menjadi penolong kepada kebangkitan ini?

Model komuniti muslim yang terbaik ialah masyarakat madani. Para sahabat dan umat Islam (Kaum Ansar dan Muhajirin) yang hidup di zaman Rasulullah SAW di Madinah adalah contoh umat terbaik. Tiada umat kemudian yang dapat menandinginya.

Tetapi kita yang hidup 1400 tahun kemudian tentunya merasa amat jauh untuk mengimaginasikan kehidupan umat Islam zaman tersebut. Bagaimana pun di Nusantara ini terutamanya di Tanah Jawa pernah wujud satu kerajaan Islam dan masyarakat Islam yang berjaya meletakkan Islam di empat tampuk kecemerlangan, iaitu;

1. Tampuk Kuasa (Pemerintahan Islam)
2. Tampuk seni dan budaya
3. agama dan pendidikan
4. Tampuk Ekonomi (Penguasaan Ekonomi Dan Perdagangan)

Amalan kesogehan adalah satu susunan rutin hidup yang menjadi amalan para kiyai yang telah diperturunkan dari satu generasi ke generasi sejak dari zaman kerajaan Islam Demak (Sultan Agung Raden Fatah), diikuti dengan Adi pati Yunus dan Sultan Agung Trenggono dan bersambungan dengankerajaan Islam Mataram (Sultan Agung Raden Mas Rangsang) dan diteruskan oleh Amangkurat 1. Kelebihan yang ketara pada zaman tersebut ialah golongan atasan seperti Sultan, Para Pembesar Negeri, Pembesar Kraton, pembesar masyarakat seperti

Sunan dan Priyayi/Kiyai adalah golongan yang kuat berpegang kepada agama Islam. Situasi ini memberikan teladan yang baik kepada rakyat dan golongan bawahan. Mereka amat dihurmati, dimuliakan dan disegani.

(Kita akan bahaskan pecahan rutin tersebut dalam bab khusus).

Sebelum itu mari kita imbas secara rengkas sejarah Sultan dan Sunan.

SEJARAH KERAJAAN ISLAM DEMAK – SULTAN AGUNG RADEN FATAH

Demak adalah kesultanan atau kerajaan Islam pertama di pulau Jawa. Kerajaan ini didirikan oleh Raden Patah pada tahun 1478 hingga 1518, Raden Fatah adalah putera Prabu Brawijaya V Raja Majapahit dari isterinya Puteri Champa. Puteri Champa adalah seorang wanita muslim, maka ia menghantar anaknya (Raden Fatah) di bawah asuhan anak saudaranya Sunan Ampel di Ampeldenta.
Bila Raden Fatah menganjak dewasa, beliau diangkat sebagai Adipati di kadipaten Bintara, Demak. Apabila komuniti Islam di Demak semakin kuat dan mampu menandingi Majapahit, dewan Walisongo memutuskan untuk mendirikan sebuah Kesultanan Islam di Demak di mana disepakati Raden Fatah ditabalkan sebagai Sultannya yang pertama dengan memakai gelar Sultan Agung.

Atas bantuan daerah-daerah lain yang sudah lebih dahulu didominasi Islam seperti Jepara, Tuban dan Gresik, Raden Fatah sebagai Sultan di Demak memutuskan ikatan dengan Majapahit, Majapahit memang tengah berada dalam kondisi yang sangat lemah. Dengan proklamasi itu, Radeh Fatah menyatakan kemerdekaan Demak dan menukar lagi gelarannya kepada Sultan Syah Alam Akbar.
Raden Fatah membesar di Ampel Denta di bawah asuhan sepupunya iaitu Sunan Ampel. Raden Fatah mendalami agama Islam bersama pemuda-pemuda lainnya, seperti Raden Paku (Sunan Giri), Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang) dan Raden Kosim (Sunan Drajat). Setelah tamat tempoh perguruannya, Raden Fatah dipercaya menjadi ulama dan membina perkampungan di Bintara. Sultan Palembang, Arya Dilah yang melihat Raden Fatah mempunyai prospek sebagai pemerintah Islam masa hadapan mengirimkan 200 tentaranya untuk bergabung dengan Raden Fatah. Raden Fatah memusatkan kegiatannya di Bintara, karena daerah tersebut direncanakan oleh Walisongo sebagai pusat kerajaan Islam di Jawa pada masa hadapan.

Di Bintara,Raden Fatah giat mendirikan pondok pesantren. Penyiaran agama dilaksanakan sejalan dengan pengembangan ilmu pengetahuan. Perlahan-lahan, daerah tersebut menjadi pusat keramaian dan perniagaan. Menjelang 1478 Raden Fatah rasmilah memerintah Demak. Dari saat itu hinggalah tahun 1518 Demak menjadi pusat politik, agama dan perdagangan Islam yang kuat dan makmur.

Kemudian secara beruturutan dua sultan memrintah Demak yakni Adipati Muhammad Yunus atau Pati Unus sebagai Sultan Agung Kedua dan Sultan Trenggono, saudara Pati Unus, sebagai Sultan Agung Ketiga (1524 – 1546).

Dalam masa pemerintahan Raden Fatah, Demak berhasil dalam berbagai bidang, di antaranya adalah perluasan wilayah jajahan takluk, pengukuhan angkatan pertahanan, pengembangan syiar Islam dan pengamalannya serta musyawarah dan kerja sama antara ulama dan umara (eksekutif) dipereratkan.

Penaklukan Girindra Wardhana adalah titik tolak bagi penaklukan tahkta Majapahit (1478), sehingga dapat menggambil alih seluruh kekuasaan Majapahit. Selain itu, Raden Fatah juga mengadakan penentangan terhadap Portugis, yang telah menduduki Melaka dan ingin mengganggu Demak. Ia mengirim angkatan tentera di bawah pimpinan putranya, Pati Unus atau Adipati Yunus atau Pangeran Sabrang Lor (1511), meski kurang berhasil. Perjuangan Raden Fatah kemudian dilanjutkan oleh putranya aPati Unus yang menggantikan ayahandanya dalam tahun 1518.

SEJARAH KERAJAAN ISLAM MATARAM

Nama asalnya adalah Raden Mas Jatmika, atau terkenal pula dengan sebutan Raden Mas Rangsang. Merupakan putra dari pasangan Prabu Hanyokrowati dan Ratu Mas Adi Dyah Banowati. Ayahnya adalah Raja Kedua Mataram, sedangkan ibunya adalah putri Pangeran Benawa Raja Pajang.

Pada umumnya setiap Sultan Agung memiliki dua orang permaisuri. Yang menjadi Ratu Kulon adalah Putri Sultan Cirebon, melahirkan Raden Mas Syahwaurat. Sementara yang menjadi Ratu Wetan adalah putri dari Batang keturunan Ki Juru Martani, yang melahirkan Raden Mas Sayidin (kelak menjadi Amangkurat I).

Gelar yang Dipakai

Pada awal pemerintahannya, Mas Rangsang bergelar Panembahan Agung. Kemudian setelah menaklukkan Madura dalam tahun 1624, ia mengganti gelarnya menjadi Susuhunan Agung atau disingkat Sunan Agung.

Pada tahun 1641 Sunan Agung mendapatkan gelar bernuansa Arab. Gelar tersebut adalah Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarami, yang diperolehnya dari pemimpin Ka’bah di Makkah,

Sejarah Pemerintahan

Sultan Agung naik takhta pada tahun 1613 dalam usia 20 tahun. Dua tahun kemudian, patih senior Ki Juru Martani wafat karena usia tua, dan kedudukannya digantikan oleh Tumenggung Singaranu.

Ibu kota Mataram saat itu masih berada di Kotagede. Pada tahun 1614 dibangun istana baru di desa Kerta yang kelak mulai ditempati pada tahun 1622.

Saingan besar Mataram saat itu tetap Surabaya dan Banten. Pada tahun 1614 Sultan Agung mengirim pasukan menaklukkan sekutu Surabaya, yaitu Lumajang. Dalam perang di Sungai Andaka, Tumenggung Surantani dari Mataram tewas oleh Panji Pulangjiwa menantu Rangga Tohjiwa Bupati Malang. Lalu Panji Pulangjiwa sendiri mati terjebak perangkap yang dipasang Tumenggung Alap-Alap.

Pada tahun 1615 Sultan Agung memimpin langsung penaklukan Wirasaba ibukota Majapahit (sekarang Mojoagung, Jombang). Pihak Surabaya mencoba membalas. Adipati Pajang juga berniat mengkhianati Mataram namun masih ragu-ragu untuk mengirim pasukan membantu Surabaya. Akibatnya, pasukan Surabaya dapat dihancurkan pihak Mataram pada Januari 1616 di desa Siwalan.

Kemenangan Sultan Agung berlanjut di Lasem dan Pasuruan tahun 1616. Kemudian pada tahun 1617 Pajang memberontak tapi dapat ditumpas. Adipati dan panglimanya (bernama Ki Tambakbaya) melarikan diri ke Surabaya.

Penaklukan Surabaya

Pada tahun 1620 pasukan Mataram mulai mengepung kota Surabaya secara berperingkat. Sungai Mas dibendung untuk menghentikan bekalan air, namun kota ini tetap mampu bertahan.

Sultan Agung kemudian mengirim Tumenggung Bahurekso (bupati Kendal) untuk menaklukkan Sukadana (Kalimantan sebelah barat daya) tahun 1622. Dikirim pula Ki Juru Kiting (putra Ki Juru Martani) untuk menaklukkan Madura tahun 1624. Pulau Madura yang asalnya terdiri atas banyak kadipaten kemudian disatukan di bawah pimpinan Pangeran Prasena yang bergelar Cakraningrat I.
Dengan direbutnya Sukadana dan Madura, posisi Surabaya menjadi lemah, karena bekalan makanan terputus sama sekali. Kota ini akhirnya jatuh karena kelaparan pada tahun 1625, bukan karena pertempuran. Pemimpinnya yang bernama Pangeran Jayalengkara pun menyerah pada pihak Mataram yang dipimpin Tumenggung Mangun-oneng.

Beberapa waktu kemudian, Jayalengkara meninggal karena usia tua. Sementara putranya yang bernama Pangeran Pekik diasingkan ke Ampel. Surabaya pun resmi menjadi jajahan takluk Mataram, dengan dipimpin oleh Tumenggung Sepanjang sebagai bupati.

Era Selepas Penaklukan Surabaya

Setelah penaklukan Surabaya, keadaan Mataram belum juga tentram. Rakyat menderita akibat perang yang berkepanjangan. Sejak tahun 1625-1627 terjadi wabak penyakit melanda di berbagai daerah, yang mengurbankan hampir dua per tiga jumlah penduduknya.
Pada tahun 1627 terjadi pula pemberontakan Pati yang dipimpin oleh Adipati Pragola, sepupu Sultan Agung sendiri. Pemberontakan ini akhirnya dapat ditumpas namun dengan biaya yang sangat mahal.

Hubungan dengan VOC

Pada tahun 1614 VOC (yang saat itu masih bermarkas di Ambon) mengirim duta untuk mengajak Sultan Agung bekerja sama namun ditolak mentah-mentah. Pada tahun 1618 Mataram dilanda gagal panen akibat perang yang berlarut-larut melawan Surabaya. Meskipun demikian, Sultan Agung tetap menolak bekerja sama dengan VOC.

Pada tahun 1619 VOC berhasil merebut Jakarta dan mengganti namanya menjadi Batavia. Markas mereka pun dipindah ke kota itu. Menyadari kekuatan bangsa Belanda tersebut, Sultan Agung mulai berpikir untuk memanfaatkan VOC dalam persaingan menghadapi Surabaya dan Banten.

Maka pada tahun 1621 Mataram mulai menjalin hubungan dengan VOC. Kedua pihak saling mengirim duta besar. Akan tetapi, VOC ternyata menolak membantu saat Mataram menyerang Surabaya. Akibatnya, hubungan diplomatik kedua pihak pun putus.
Sasaran Mataram berikutnya setelah Surabaya jatuh adalah desa Banten. Akan tetapi posisi Batavia yang menjadi penghalang perlu untuk dihancurkan terlebih dahulu.

Bulan April 1628 Kyai Rangga bupati Tegal dikirim sebagai duta ke Batavia untuk menyampaikan tawaran damai dengan syarat-syarat tertentu dari Mataram. Tawaran tersebut ditolak pihak VOC sehingga perang pun menjadi pilihan berikutnya.
Maka, pada bulan Agustus 1628 pasukan Mataram dipimpin Tumenggung Bahurekso bupati Kendal tiba di Batavia. Pasukan kedua tiba bulan Oktober dipimpin Pangeran Mandurareja (cucu Ki Juru Martani). Total semuanya adalah 10.000 prajurit. Perang besar terjadi di benteng Holandia. Pasukan Mataram mengalami kehancuran karena kurang perbekalan.

Menanggapi kekalahan ini Sultan Agung bertindak tegas. Pada bulan Desember 1628 ia mengirim algojo untuk menghukum mati Bahurekso dan Mandurareja. Pihak VOC menemukan 744 mayat orang Jawa berserakan dan sebagian tanpa kepala.
Sultan Agung kembali menyerang Batavia untuk kedua kalinya. Pasukan pertama dipimpin Adipati Ukur berangkat pada bulan Mei 1629, sedangkan pasukan kedua dipimpin Adipati Juminah berangkat bulan Juni. Total semua 14.000 orang prajurit. Kegagalan serangan pertama diantisipasi dengan cara mendirikan lumbung-lumbung beras di Karawang dan Cirebon. Namun pihak VOC berhasil memusnahkan semuanya.

Maka, serangan kedua Sultan Agung pun berhasil membendung dan mengotori Sungai Ciliwung mengakibatkan timbul wabah penyakit taun melanda Batavia. Gubernur jenderal VOC yaitu J.P. Coen tewas menjadi korban wabah tersebut.
Setelah Kekalahan di Batavia

Sultan Agung pantang menyerah menghadapi penjajah yang sangat kuat. Ia mencoba menjalin hubungan dengan Portugis untuk bersama-sama menghancurkan VOC-Belanda. Namun hubungan kemudian diputus tahun 1635 karena ia menyadari posisi Portugis saat itu sudah lemah.

Kekalahan di Batavia menyebabkan daerah-daerah bawahan berani memberontak untuk merdeka. Diawali dengan pemberontakan para ulama Tembayat yang berhasil ditumpas pada tahun 1630. Kemudian Sumedang dan Ukur memberontak tahun 1631. Sultan Cirebon yang masih setia berhasil memadamkan pemberontakan Sumedang tahun 1632.

Disusul kemudian pemberontakan Giri Kedaton yang tidak mahu tunduk kepada Mataram. Karena orang Mataram masih tidak tega menghadapi saudaranya yakni keturunan Sunan Giri, maka yang ditugasi melakukan penumpasan adalah Pangeran Pekik pemimpin Ampel. Pangeran Pekik sendiri telah dinikahkan dengan Ratu Pandansari adik Sultan Agung pada tahun 1633. Pemberontakan Giri Kedaton ini berhasil dipadamkan oleh pasangan suami istri tersebut pada tahun 1636.

Penghujung Era Kekuasaan

Pada tahun 1636 Sultan Agung mengirim Pangeran Silarong untuk menaklukkan Blambangan di ujung timur Pulau Jawa. Meskipun mendapat bantuan dari Bali, negeri Blambangan tetap dapat dikalahkan pada tahun 1640.

Seluruh Pulau Jawa akhirnya berada dalam kekuasaan Kesultanan Mataram, kecuali Batavia yang masih diduduki VOC-Belanda. Sedangkan desa Banten telah berasimilasi melalui peleburan kebudayaan. Wilayah luar Jawa yang berhasil ditundukkan adalah Palembang di Sumatra tahun 1636 dan Sukadana di Kalimantan tahun 1622. Sultan Agung juga menjalin hubungan diplomatik dengan Makassar, negeri terkuat di Sulawesi saat itu.

Sultan Agung berhasil menjadikan Mataram sebagai kerajaan besar tidak hanya dibangun di atas pertumpahan darah dan kekerasan, namun melalui kebudayaan rakyat yang luhur dan mengenalkan sistem-sistem pertanian. Negeri-negeri pelabuhan dan perdagangan seperti Surabaya dan Tuban diurus-tadbir dengan baik sementara sektor pertanian digiatkan sehingga setiap rakyat menjadi produktif.

Sultan Agung juga menaruh perhatian pada kebudayaan. Baginda menggabungkan Kalender Hijriyah yang dipakai di pesisir utara dengan Kalender Saka yang masih dipakai di pedalaman. Hasilnya adalah terciptanya Kalender Jawa Islam sebagai upaya penyatuan seluruh rakyat Mataram. Selain itu Sultan Agung juga dikenal sebagai penulis naskah tuntunan hidup berjudul Sastra Gending.
Di lingkungan keraton (Istana) Mataram, Sultan Agung menetapkan pemakaian bahasa bagongan yang harus dipakai oleh para bangsawan dan pejabat demi untuk menghilangkan kesenjangan satu sama lain. Dengan demikian diharapkan dapat terciptanya rasa persatuan di antara penghuni istana.

Sementara itu Bahasa Sunda juga mengalami perubahan sejak Mataram menguasai Jawa Barat. Hal ini ditandai dengan terciptanya bahasa halus dan bahasa sangat halus yang sebelumnya hanya dikenal di Jawa Tengah.
Kemangkatan Sultan Agung

Menjelang tahun 1645 Sultan Agung merasa ajalnya sudah dekat. Ia pun membangun Astana Imogiri sebagai pusat pemakaman keluarga raja-raja Kesultanan Mataram mulai dari dirinya. Ia juga menuliskan serat Sastra Gending sebagai tuntunan hidup trah Mataram.

Sesuai dengan wasiatnya, Sultan Agung yang meninggal dunia tahun 1645 digantikan oleh putranya yang bernama Raden Mas Sayidin sebagai raja Mataram selanjutnya, bergelar Amangkurat I.

SEJARAH WALISONGO

Ada beberapa pendapat mengenai arti Walisongo. Pertama adalah wali yang sembilan, yang menandakan jumlah wali yang ada sembilan, atau sanga dalam bahasa Jawa. Pendapat lain menyebutkan bahwa kata songo/sanga berasal dari kata tsana yang dalam bahasa Arab berarti mulia. Pendapat lainnya lagi menyebut kata sana berasal dari bahasa Jawa, yang berarti tempat.

Pendapat lain yang mengatakan bahwa Walisongo ini adalah sebuah dewan yang didirikan oleh Raden Rahmat (Sunan Ampel) pada tahun 1474. Saat itu dewan Walisongo beranggotakan Raden Hasan (Pangeran Bintara); Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang, putra pertama dari Sunan Ampel); Qasim (Sunan Drajat, putra kedua dari Sunan Ampel); Usman Haji (Pangeran Ngudung, ayah dari Sunan Kudus); Raden Ainul Yaqin (Sunan Giri, putra dari Maulana Ishaq); Syekh Suta Maharaja; Raden Hamzah (Pangeran Tumapel) dan Raden Mahmud.

Para anggota dewan Walisongo adalah tokoh-tokoh pendakwah dan mejaddid masyarakat pada masanya. Pengaruh mereka wujud dalam beragam bentuk manifestasi peradaban baru masyarakat Jawa, mulai dari kesehatan, bercocok-tanam, perniagaan, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan hingga ke tatacara hidup keseluruhan ummah di zamannya. Mereka dengan bijaksana menggarap dan menggalurkan nilai-nilai murni yang universal yakni amalan warisan Hindu/Buddha rakyat kebanyakan dengan nilai-nilai Islam. Sebagai contoh Sunan Kalijaga misalnya membenarkan wayang kulit terus dihidupkan dengan menukarkan skrip Hikayat Seri Rama dengan skrip baru yang dipadankan dengan sejarah Islam.

Meskipun terdapat perbedaan pendapat mengenai siapakah tokoh-tokoh yang termasuk dalam barisan Walisongo, pada umumnya terdapat sembilan nama yang dikenal sebagai anggota Walisongo yang paling konsisten iaitu:

Para Walisongo tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga karena pernikahan atau dalam hubungan guru-murid.

Maulana Malik Ibrahim – Sunan Gresik

Makam Maulana Malik Ibrahim, desa Gapura, Gresik, Jawa Timur

Maulana Malik Ibrahim adalah keturunan ke-11 dari Husain bin Ali. Ia disebut juga Sunan Gresik, Syekh Maghribi, atau terkadang Makhdum Ibrahim As-Samarqandy. Ia diperkirakan lahir di Samarkand di Asia Tengah, pada paruh awal abad ke-14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah orang Jawa terhadap As-Samarqandy.[1] Dalam cerita rakyat, ada yang memanggilnya Kakek Bantal.

Malik Ibrahim umumnya dianggap sebagai wali pertama yang mendakwahkan Islam di Jawa. Ia mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam dan banyak merangkul rakyat kebanyakan, yaitu golongan masyarakat Jawa yang tersisihkan akhir kekuasaan Majapahit. Malik Ibrahim berusaha menarik hati masyarakat, yang tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Ia membangun pondokan tempat belajar agama di Leran, Gresik. Pada tahun 1419, Malik Ibrahim wafat. Makamnya terdapat di desa Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur.

Sunan Ampel

Sunan Ampel bernama asli Raden Rahmat, keturunan ke-12 dari Husain bin Ali, menurut riwayat adalah putra Maulana Malik Ibrahim dan seorang putri Champa. Ia disebutkan masih berkerabat dengan salah seorang istri atau selir dari Brawijaya raja Majapahit. Sunan Ampel umumnya dianggap sebagai sesepuh oleh para wali lainnya. Pesantrennya bertempat di Ampel Denta, Surabaya, dan merupakan salah satu pusat penyebaran agama Islam tertua di Jawa. Ia menikah dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja. Sunan Bonang dan Sunan Kudus adalah anak-anaknya, sedangkan Sunan Drajat adalah cucunya. Makam Sunan Ampel teletak di dekat Masjid Ampel, Surabaya.

Sunan Bonang

Bonang, sederetan gong kecil diletakkan horizontal.

Sunan Bonang adalah putra Sunan Ampel, dan merupakan keturunan ke-13 dari Husain bin Ali. Ia adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja. Sunan Bonang banyak berdakwah melalui kesenian untuk menarik penduduk Jawa agar memeluk agama Islam. Ia dikatakan sebagai penggubah suluk Wijil dan tembang Tombo Ati, yang masih sering dinyanyikan orang. Pembaharuannya pada gamelan Jawa ialah dengan memasukkan rebab dan bonang, yang sering dihubungkan dengan namanya. Universitas Leiden menyimpan sebuah karya sastra bahasa Jawa bernama Het Boek van Bonang atau Buku Bonang.

Menurut G.W.J. Drewes, itu bukan karya Sunan Bonang namun mungkin saja mengandung ajarannya. Sunan Bonang diperkirakan wafat pada tahun 1525.

Sunan Drajat

Sunan Drajat adalah putra Sunan Ampel, dan merupakan keturunan ke-13 dari Husain bin Ali. Ia adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja. Sunan Drajat banyak berdakwah kepada masyarakat kebanyakan. Ia menekankan kedermawanan, kerja keras, dan peningkatan kemakmuran masyarakat, sebagai pengamalan dari agama Islam. Pesantren Sunan Drajat dijalankan secara mandiri sebagai wilayah perdikan, bertempat di Desa Drajat, Kecamatan Paciran, Lamongan. Tembang macapat Pangkur disebutkan sebagai ciptaannya. Gamelan Singomengkok peninggalannya terdapat di Musium Daerah Sunan Drajat, Lamongan. Sunan Drajat diperkirakan wafat wafat pada 1522.

Sunan Kudus

Sunan Kudus adalah putra Sunan Ngudung atau Raden Usman Haji, dengan Syarifah adik dari Sunan Bonang. Sunan Kudus adalah keturunan ke-14 dari Husain bin Ali. Sebagai seorang wali, Sunan Kudus memiliki peran yang besar dalam pemerintahan Kesultanan Demak, yaitu sebagai panglima perang dan hakim peradilan negara. Ia banyak berdakwah di kalangan kaum penguasa dan priyayi Jawa. Diantara yang pernah menjadi muridnya, ialah Sunan Prawoto penguasa Demak, dan Arya Penangsang adipati Jipang Panolan. Salah satu peninggalannya yang terkenal ialah Mesjid Menara Kudus, yang arsitekturnya bergaya campuran Hindu dan Islam. Sunan Kudus diperkirakan wafat pada tahun 1550.

Sunan Giri

Sunan Giri adalah putra Maulana Ishaq. Sunan Giri adalah keturunan ke-12 dari Husain bin Ali, merupakan murid dari Sunan Ampel dan saudara seperguruan dari Sunan Bonang. Ia mendirikan pemerintahan mandiri di Giri Kedaton, Gresik; yang selanjutnya berperan sebagai pusat dakwah Islam di wilayah Jawa dan Indonesia timur, bahkan sampai ke kepulauan Maluku. Salah satu keturunannya yang terkenal ialah Sunan Giri Prapen, yang menyebarkan agama Islam ke wilayah Lombok dan Bima.

Sunan Kalijaga

Sunan Kalijaga adalah putra adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur. Ia adalah murid Sunan Bonang. Sunan Kalijaga menggunakan kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah, antara lain kesenian wayang kulit dan tembang suluk. Tembang suluk Ilir-Ilir dan Gundul-Gundul Pacul umumnya dianggap sebagai hasil karyanya. Dalam satu riwayat, Sunan Kalijaga disebutkan menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishaq.

Sunan Muria

Sunan Muria atau Raden Umar Said adalah putra Sunan Kalijaga. Ia adalah putra dari Sunan Kalijaga yang menikah dengan Dewi Sujinah, putri Sunan Ngudung.

Sunan Gunung Jati

Makam Sunan Gunung Jati di Cirebon, Jawa Barat

Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah adalah putra Syarif Abdullah putra Nurul Alam putra Syekh Jamaluddin Akbar. Dari pihak ibu, ia masih keturunan keraton Pajajaran melalui Nyai Rara Santang, yaitu anak dari Sri Baduga Maharaja. Sunan Gunung Jati mengembangkan Cirebon sebagai pusat dakwah dan pemerintahannya, yang sesudahnya kemudian menjadi Kesultanan Cirebon. Anaknya yang bernama Maulana Hasanuddin, juga berhasil mengembangkan kekuasaan dan menyebarkan agama Islam di Banten, sehingga kemudian menjadi cikal-bakal berdirinya Kesultanan Banten.

Tokoh pendahulu Walisongo – Syekh Jumadil Qubro

Syekh Jumadil Qubro adalah tokoh yang sering disebutkan dalam berbagai babad dan cerita rakyat sebagai salah seorang pelopor penyebaran Islam di tanah Jawa. Ia umumnya dianggap bukan keturunan Jawa, melainkan berasal dari Asia Tengah. Terdapat beberapa versi babad yang meyakini bahwa ia adalah keturunan ke-10 dari Husain bin Ali, yaitu cucu Nabi Muhammad SAW.
Sebagian babad berpendapat bahwa Syekh Jumadil Qubro memiliki dua anak, yaitu Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik) dan Maulana Ishaq, yang bersama-sama dengannya datang ke pulau Jawa. Syekh Jumadil Qubro kemudian tetap di Jawa, Maulana Malik Ibrahim ke Champa, dan adiknya Maulana Ishaq mengislamkan Samudera Pasai. Dengan demikian, beberapa Walisongo yaitu Sunan Ampel (Raden Rahmat) dan Sunan Giri (Raden Paku) adalah cucunya; sedangkan Sunan Bonang, Sunan Drajad dan Sunan Kudus adalah cicitnya. Hal tersebut menyebabkan adanya pendapat yang mengatakan bahwa para Walisongo merupakan keturunan etnis Uzbek yang dominan di Asia Tengah, selain kemungkinan lainnya yaitu etnis Persia, Gujarat, ataupun Hadramaut.

Makamnya terdapat di beberapa tempat yaitu di Semarang, Trowulan, atau di desa Turgo (dekat Pelawangan), Yogyakarta. Belum diketahui yang mana yang betul-betul merupakan kuburnya.[2]

Syekh Maulana Akbar

Syekh Maulana Akbar adalah adalah seorang tokoh di abad 14-15 yang dianggap merupakan pelopor penyebaran Islam di tanah Jawa. Nama lainnya ialah Syekh Jamaluddin Akbar dari Gujarat, dan ia kemungkinan besar adalah juga tokoh yang dipanggil dengan nama Syekh Jumadil Kubro, sebagaimana tersebut di atas. Hal ini adalah menurut penelitian Martin van Bruinessen (1994), yang menyatakan bahwa nama Jumadil Kubro (atau Jumadil Qubro) sesungguhnya adalah hasil perubahan hyper-correct atas nama Jamaluddin Akbar oleh masyarakat Jawa.[3]

Silsilah Syekh Maulana Akbar (Jamaluddin Akbar) dari Nabi Muhammad SAW umumnya dinyatakan sebagai berikut: Sayyidina Husain, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja’far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad al-Naqib, Isa ar-Rummi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali’ Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Jalal Syah, dan Jamaluddin Akbar al-Husaini (Maulana Akbar).

Menurut cerita rakyat, sebagian besar Walisongo memiliki hubungan atau berasal dari keturunan Syekh Maulana Akbar ini. Tiga putranya yang disebutkan meneruskan dakwah di Asia Tenggara; adalah Ibrahim Akbar (atau Ibrahim as-Samarkandi) ayah Sunan Ampel yang berdakwah di Champa dan Gresik, Ali Nuralam Akbar kakek Sunan Gunung Jati yang berdakwah di Pasai, dan Zainal Alam Barakat.

Syekh Quro

Syekh Quro adalah pendiri pesantren pertama di Jawa Barat, yaitu pesantren Quro di Tanjungpura, Karawang pada tahun 1428.[4]
Nama aslinya Syekh Quro ialah Hasanuddin. Beberapa babad menyebutkan bahwa ia adalah muballigh (penyebar agama} asal Makkah, yang berdakwah di daerah Karawang. Ia diperkirakan datang dari Champa atau kini Vietnam selatan. Sebagian cerita menyatakan bahwa ia turut dalam pelayaran armada Cheng Ho, saat armada tersebut tiba di daerah Tanjung Pura, Karawang.

Syekh Quro sebagai guru dari Nyai Subang Larang, anak Ki Gedeng Tapa penguasa Cirebon. Nyai Subang Larang yang cantik dan halus budinya, kemudian dinikahi oleh Raden Manahrasa dari wangsa Siliwangi, yang setelah menjadi raja Kerajaan Pajajaran bergelar Sri Baduga Maharaja. Dari pernikahan tersebut, lahirlah Pangeran Kian Santang yang selanjutnya menjadi penyebar agama Islam di Jawa Barat. Makam Syekh Quro terdapat di desa Pulo Kalapa, Lemahabang, Karawang.

Syekh Datuk Kahfi

Syekh Datuk Kahfi adalah muballigh asal Baghdad memilih markas di pelabuhan Muara Jati, yaitu kota Cirebon sekarang. Ia bernama asli Idhafi Mahdi.

Majelis pengajiannya menjadi terkenal karena didatangi oleh Nyai Rara Santang dan Kian Santang (Pangeran Cakrabuwana), yang merupakan putra-putri Nyai Subang Larang dari pernikahannya dengan raja Pajajaran dari wangsa Siliwangi. Di tempat pengajian inilah tampaknya Nyai Rara Santang bertemu atau dipertemukan dengan Syarif Abdullah, cucu Syekh Maulana Akbar Gujarat. Setelah mereka menikah, lahirlah Raden Syarif Hidayatullah kemudian hari dikenal sebagai Sunan Gunung Jati.
Makam Syekh Datuk Kahfi ada di Gunung Jati, satu komplek dengan makam Sunan Gunung Jati.

Syekh Khaliqul Idrus

Syekh Khaliqul Idrus adalah seorang muballigh Parsi yang berdakwah di Jepara. Menurut suatu penelitian, ia diperkirakan adalah Syekh Abdul Khaliq, dengan laqob Al-Idrus, anak dari Syekh Muhammad Al-Alsiy yang wafat di Isfahan, Parsi.
Syekh Khaliqul Idrus di Jepara menikahi salah seorang cucu Syekh Maulana Akbar yang kemudian melahirkan Raden Muhammad Yunus. Raden Muhammad Yunus kemudian menikahi salah seorang putri Majapahit hingga mendapat gelar Wong Agung Jepara. Pernikahan Raden Muhammad Yunus dengan putri Majapahit di Jepara ini kemudian melahirkan Raden Abdul Qadir yang menjadi menantu Raden Fatah, bergelar Adipati Bin Yunus atau Pati Unus. Setelah gugur di Melaka 1521, Pati Unus dipanggil dengan sebutan Pangeran Sabrang Lor.

SEJARAH PERJUANGAN ZAMAN PENJAJAHAN BELANDA

Pengeran Diponegoro

Asal-usul Diponegoro

Diponegoro adalah putra sulung Hamengkubuwana III, seorang raja Mataram di Yogyakarta. Lahir pada tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta dari seorang garwa ampeyan (selir) bernama R.A. Mangkarawati, yaitu seorang garwa ampeyan (istri non permaisuri) yang berasal dari Pacitan. Pangeran Diponegoro bernama kecil Raden Mas Mustahar,[rujukan?] lalu diubah namanya oleh Hamengkubuwono II tahun 1805 menjadi Bendoro Raden Mas Antawirya.

Menyadari kedudukannya sebagai putra seorang selir, Diponegoro menolak keinginan ayahnya, Sultan Hamengkubuwana III, untuk mengangkatnya menjadi raja. Ia menolak mengingat ibunya bukanlah permaisuri. Mempunyai 3 orang istri, yaitu: Bendara Raden Ayu Antawirya, Raden Ayu Ratnaningsih, & Raden Ayu Ratnaningrum.

Diponegoro lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat sehingga ia lebih suka tinggal di Tegalrejo tempat tinggal eyang buyut putrinya, permaisuri dari HB I Ratu Ageng Tegalrejo daripada di keraton. Pemberontakannya terhadap keraton dimulai sejak kepemimpinan Hamengkubuwana V (1822) dimana Diponegoro menjadi salah satu anggota perwalian yang mendampingi Hamengkubuwana V yang baru berusia 3 tahun, sedangkan pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih Danurejo bersama Residen Belanda. Cara perwalian seperti itu tidak disetujui Diponegoro.

Riwayat perjuangan

Perang Diponegoro berawal ketika pihak Belanda memasang patok di tanah milik Diponegoro di desa Tegalrejo. Saat itu, beliau memang sudah muak dengan kelakuan Belanda yang tidak menghargai adat istiadat setempat dan sangat mengeksploitasi rakyat dengan pembebanan pajak.

Sikap Diponegoro yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan dukungan rakyat. Atas saran Pangeran Mangkubumi, pamannya, Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo, dan membuat markas di sebuah goa yang bernama Goa Selarong. Saat itu, Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat “perang sabil” yang dikobarkan Diponegoro membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu. Salah seorang tokoh agama di Surakarta, Kyai Maja, ikut bergabung dengan pasukan Diponegoro di Goa Selarong.

Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta gulden.
Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara pun dipergunakan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap Diponegoro. Sampai akhirnya Diponegoro ditangkap pada 1830.

Penangkapan dan pengasingan

16 Februari 1830 Pangeran Diponegoro dan Kolonel Cleerens bertemu di Remo Kamal, Bagelen (sekarang masuk wilayah Purworejo). Cleerens mengusulkan agar Kanjeng Pangeran dan pengikutnya berdiam dulu di Menoreh sambil menunggu kedatangan Letnan Gubernur Jenderal Markus de Kock dari Batavia.

ULASAN DATO’ DR HJ RUSLY BIN ABDULLAH

Ramai di kalangan kita umat Islam tidak begitu mengetahui sejarah perkembangan dan kegemilangan Islam di Nusantara. Bermula dari terdirinya kerajaan Islam di Pasai, Perlak, Acheh hinggalah berdirinya kerajaan Islam Demak di bawah pemerintahan Sultan Agung Raden Fatah. Era kegemilangan dakwah Islamiah Walisongo dan kehebatan empayar Islam Mataram. Sampailah perjuangan kemerdekaan Diponegoro. Semua sejarah penting ini tidak diketahui oleh kebanyakan dari orang Islam Nusantara masakini terutamanya generasi muda. Kenapa terjadi begitu? Itu terjadi dari satu konspirasi terancang para penjajah barat. Catatan penting itu telah dengan sengaja dihilangkan dari teks dan dokumen sejarah rakyat oleh para penjajah dan penjarah Inggeris, Belanda dan Sepanyol.

Walaupun dari segi politik ketiga-tiga penjajah itu kononnya berlainan dan bermusuhan. Namun hakikatnya, mereka mempunyai misi dan visi yang sama iaitu menjajah dan menjarah wilayah Islam di Nusantara dan seterusnya mengeksploitasi segala hasil dan mahsulnya dari galian dan rempah ratusnya dan cuba membaptiskan penduduknya yang sememangnya telah mempunyai agama yang suci iaitu Islam sebagai satu kelanjutan dari Perang Salib di Palestin dan Eropah.

Akhirnya sejarah agung itu menjadi misteri yang tertimbus di bawah keangkuhan Borobudur. Kini, candi itu lebih ramai dikunjungi oleh orang Islam berbanding Masjid Agung Demak sendiri. Apa yang menyedihkan sekarang seolah-olah orang Islam sendiri meremehkan sejarah agamanya di Nusantara.

Apa yang harus kita perbetulkan ialah, tanggapan seolah-olah sejarah Islam Demak hanyalah sejarah orang Jawa. Ia tiada kena mengena dengan kita di Malaysia, Singapura dan Brunei. Pada hal Sultan Agung Raden Fatah dua kali mengirimkan angkatan perang menyerang Portugis di Melaka dibawah pimpinan putranya sendiri Adi Pati Yunus sehingga mati syahid di Melaka. Kemangkatannya di Melaka menyebabkan Adi Pati Yunus mendapat gelaran Pangeran Sabrang Lor. Kenapakah Demak sanggup dating dari jauh menyerang Portugis di Melaka? Ini adalah lahir dari keprihatinan Sultan Agung Raden Fatah yang tidak rela negeri serumpun dan seagamanya dijajah oleh bangsa Kafir (Kaum Nasara Portugis).

Kita juga tidak mahu adanya tanggapan seolah-olah sejarah Walisongo hanyalah satu episod dari epik sejarah Tanah Jawa kuno. Seolah-olah hanya layak berada dalam hikayat wayang kulit Jawa. Kita juga tidak mahu sejarah perjuangan Diponegoro pula tidak lebih dari sejarah perjuangan seorang anak raja Jawa menuntut kemerdekaan dari penjajah Belanda. Langsung tiada signifikasi kepada gelombang penentangan terhadap penjajah di seluruh Nusantara.

Memang itulah tanggapan atau persepsi yang ingin di pupuk oleh penjajah dan para orientalis yang pro-mereka. Supaya tidak wujud hubungan fizikal mahupun spiritual antara seluruh umat Islam Nusantara. Sebaliknya Nusantara dipecah perintah hingga terbena sempadan atau garis pemisah politik. Maka terpisahlah Bentan dan Riau dari Johor yang dahulunya di bawah satu empayar. Gelaran Darul Takzim ertinya negeri besar kerana empayar Johor merangkumi seluruh kepulauan Bentan hinggalah seluruh Riau. Hingga terbentuk bahasa Johor Riau yang menjadi asas Bahasa Persuratan Malaysia dan Indonesia. Namun atas kosnpirasi Inggeris dan Belanda Johor dan Riau terpisah menjadi dua Negara yang berlainan hinggalah sekarang.

Penjajah Inggeris, Belanda dan Sepanyol tidak mahu silaturahmi dan persaudaraan yang kuat antara umat Islam seantero Nusantara. Bila itu terjadi, maka tidak akan wujudlah penyatuan yang akan memungkinkan gerakan jihad fisabilillah secara gabungan seluruh wilayah Islam nusantara.

Walhal, sebelum kedatangan Belanda lagi, umat Islam telah berhubungan dengan akrab sesama sendiri. Dari Aceh, Pasai, Perlak, Melaka, Demak, Mataram, Kemboja (Champa), Pattani-Sanggora hinggalah Aminullah (Manila), Sulu (Mindanao/Sabah), Sulawesi dan Makassar. Kedatangan penjajah memulakan pemisahan wilayah mengikut sempadan Negara-politik dan mengapi-apikan pemimpin wilayah kecil bangkit memberontak melawan kerajaan pusat sebagai contohnya era penghujung kerajaan Islam Mataram. Para penjajah itu amat takut apabila umat Islam dari seluruh wilayah itu bersatu semula dan berjihad, maka tamatlah riwayat Inggeris, Belanda dan Sepanyol dari bumi Nusantara.

Kita juga tidak pernah mengkaji, apakah cara hidup yang diamalkan oleh masyarakat Islam pada zaman tersebut hingga menjadikan mereka hebat dan luar biasa. Terutamanya era Sultan Agung, era Walisongo dan era Diponegoro di mana ujudnya persatuan yang erat di antara golongan ulama’ (Sunan, Wali dan Kiyai) dengan golongan umara’ seperti Sultan, Senopati, Adipati dan Bupati. Kesatuan antara Ulama’ dan Umara’ menjadikan bidang-bidang kehidupan zaman mereka begitu hebat dan cemerlang iaitu;

i. Bidang politik (Mereka mempunyai pengaruh dalam mengangkat atau menurunkan Sultan dari takhtanya). Mereka menguasai dan menjadi pemerintah angkatan tentera.
ii. Bidang Bisnes dan Perdagangan – mereka mengusai pertanian dan perdagangan domestic, antara wilayah dan antara bangsa.
iii. Bidang agama dan pendidikan – mereka mendirikan pesantren dan masjid.
iv. Bidang Kesenian dan Kebudayaan

Sejarah perkembangan dan perjuangan Islam walau di mana sekalipun berlakunya, baik di Tanah Jawa, di Melaka, Aceh, Pattani atau Kemboja adalah milik kita bersama. Warisan yang amat bernilai yang patut kita hargai dan dipertahankan.

Mereka para Sunan, wali dan kiyai telah menjadi ‘Towering Personality’ terawal dalam komuniti Melayu yang patut menjadi ikutan dan suri-tauladan kepada kita generasi kemudian.

Mereka hebat kerana kecemerlangan mereka dalam 2S, iaitu:

i. Kehebatan sahsiah
ii. Kehebatan siasah di mana,

Mereka semua mempunyai ketinggian akhlak dan peribadi, pada masa yang sama mempunyai kebijaksanaan siasah. Mereka adalah ahli abid yang tawadhu dan bertaqwa dan pada masa yang sama mempunyai siasah (pengetahuan, kemahiran dan ketrampilan) yang tinggi seperti berikut;

i. seorang pendakwah yang cekal dan giat
ii. seorang pemimpin yang bijak dan adil
iii. seorang pentadbir yang cekap dan efisien
iv. seorang pahlawan yang gagah berani
v. seorang ahli musik yang baik – Sunan Bonang
vi. seorang ahli seni budaya yang trampil – Sunan Kalijaga
vii. seorang pedagang yang pintar Sunan Muria dan Sunan Kudus
viii. jurubina yang bagus – mencipta sistem saliran persawahan, membina masjid dan membina kubu dan benteng pertahanan.
ix. Ahli logam dan pertukangan kayu yang mahir lagi trampil.
x. Ahli pelayaran yang cekap
xi. Tabib yang pintar sehingga mampu mendepani dan menangani dukun santet yang penyihir.

Maka sebagai satu usaha kecil dari saya yang dhaif dan kerdil ini, saya kompilasi sejarah kerajaan Islam Demak dan Mataram, Sejarah Walisongo dan Sejarah perjuangan Diponegoro yang saya petik dari artikel-artikel sejarah guna untuk mempermudahkan anda mendapat bacaan rengkas berkaitan dengan sejawar Islam Nusantara terutama yang berpusat di Tanah Jawa.

Ada juga soalan yang diajukan kepada saya, “Kenapa sejarah Tanah Jawa? Dan kenapa Amalan Kesogehan ini adalah berasal usul Jawa?”.

Amalan Kesogehan hanyalah satu option atau satu pilihan? Dalam ikhtiar kita mencari model untuk asas kebangkitan semula Islam. Model paling dekat dan jelas bagi saya adalah ketiga-tiga era tersebut. Di mana era kerja sama erat di antara ulama’ dan umara’ begitu jelas dan terbukti kesannya.

Saya suka membuat analogi begini;

1. Allah SWT memerintahkan kita untuk memakan makanan yang Halallan dan thoyyiban. Tapi adakah ditetapkan menu dan resepinya. Terpulang kepada kita, memilih menu, memilih resepi dan memasaknya. Apa yang penting ianya halal dan baik.

2. Rasulullah SAW menyarankan agar kita menceburi perniagaan – Hadis Baginda “9 dari 10 pintu-pintu kekayaan terdapat dalam perniagaan” (Riwayat Tarmizi) adakah Rasulullah menetapkan bidangnya?

Apabila kita sudah ada kekuatan sahsiah yang bertunjangkan rukun Iman dan Rukun Islam maka dengan sendirinya siasah kita akan menuju Allah SWT dan RasulNya.

Sekali lagi saya menegaskan bahawa Amalan Kesogehan hanyalah sebagai satu manual alternative atau option. Ianya berupa satu modul yang boleh kita jadikan asas melatih dan membina modal insan masakini.

Memang kita sering mendengar solusi yang dicadangkan oleh kebanyakan seminar, forum atau symposium yang membahaskan tentang kelangsungan Islam masakini dan masa depan ialah…..

“Kita mestilah kembali kepada Allah dan RasulNya…..jika tidak kemelut dan gejala kemunduran dan keruntuhan moral yang melanda ummah tidak akan selesai’.

Benar kita hanya ada satu jalan penyelesaian yakni kembali kepada Allah dan RasulNya. Namun, kita memerlukan model dan modul. Ini adalah zaman di mana manusia tidak boleh lagi digerakkan dengan seruan-seruan retorik dan melankolik.

Salahkah kita mencontohi manual (Amalan) yang telah dipraktikkan dan dibuktikan oleh sejarah kecemerlangan Islam dari wilayah geografi kita sendiri. Dari tokoh-tokoh yang yang serumpun, sebahasa, se agama dan sebudaya dengan kita? Jika mereka telah membuktikannya maka kita akan berasa lebih yakin untuk mengulanginya.

Amalan Kesogehan adalah satu manual (Tuntunan Hidup) tersusun yang kita akan berikan kepada mereka yang mahu dengan ikhlas. Bukti keikhlasan mereka ialah mereka mahu berbai’ah dengan saya sebagai penganjur Amalan Kesogehan di Malaysia.

Kalendar Jawa Islam

Satu jasa Sultan Agung Raden Mas Rangsang Raja Mataram yang tidak boleh diperkecilkan ialah usaha baginda mengubahsuai Kalendar Jawa dengan Kalendar Hijriyah lalu menjadi Kalendar Jawa Islam.

Telah diketahui, bangsa Jawa telah mempunyai tamaddunnya sendiri ratusan tahun sebelum kedatangan Islam. Ia mempunyai tulisan sendiri dan kalendar sendiri.

Dari sudut adat dan budaya, orang Jawa amat teliti dengan tanggal (Tarikh) dan Penanggalan (Susunan Hari, Minggu dan Bulan). Tarikh mempunyai signifikasi tersendiri terhadap kehidupan bangsa Jawa.

Mereka memilih tarikh khusus untuk berpergian, untuk membina rumah, berpindah rumah, untuk membuka lading, untuk bercucuk tanam, untuk berdagang dll. Perkara ini banyak tercatat dalam Primbon dan Mujarobat Jawa.
Jika orang China ada Feng Shui, orang Jawa ada Primbon.

Namun, kedatangan Islam mendapati terdapat pertentangan antara kepercayaan turun temurun itu dengan ajaran dan aqidah Islam. Masyarakat Jawa, percaya tarikh lahir (Tanggal Weton) mempunyai pengaruh tertentu terhadap karakter dan untung nasib seseorang manusia. Ini kerana tarikh dan pergerakan masa ditentukan oleh pergerakan sama ada;

i. cenderasangkala (Pusingan atau ubengan rembulan mengelilingi bumi.
ii. Sangkakala (Pusingan bumi mengelilingi matahari)

Pusingan bulan pada ‘Jatrane’ (Orbit) peredaran bumi juga pada ‘Jatrane’ (Orbit) apabila pada hari tertentu ia (Bulan dan bumi) berada pada titik darjah tertentu, ia mempunyai hubungan tertentu dengan medan kosmik di angkasa. Dalam bulan Jawa setiap hari diberinama Pasaran (Pancawara) iaitu:

i. kliwon
ii. Legi
iii. Pahing
iv. Pon
v. Wage

Oleh Sultan Agung Mataram, penanggalan Jawa itu dikahwinkan dengan kalendar
Berikut saya perturunkan artikel dalam bahasa Jawa berkaitan dengan kalendar (Penanggalan) Jawa yang saya sunting dari Ki Demang.
Pênanggalan Jåwå
Étungan ing pênanggalan Jåwå luwíh rumít lan pêpak bangêt mênåwå dibandhingaké karo pênanggalan liyané.
Pêpaké étungan mbúktèkaké sêtitiné Jåwå anggóné ngamati kahanan sêmèsta lan pêngaruhé ånå ing bumi sartå pêngaruhé marang kahanan uríp lan panguripané manungså.

Pêpaké étungan tåtå pênanggalan Jåwå bisa diatúraké, mangkéné:

1. Pasaran (Påncåwårå) : étungan dinå cacah 5 (limå) :
1.1. Kliwón (Kasih),
1.2. Lêgi (Manis),
1.3. Pahíng (Jênar),
1.4. Pón (Palgunå),
1.5. Wagé (Cêmêngan, Krêsnå, Langkíng).

2. Paringkêlan (Sadwårå) : étungan dinå cacah 6 (ênêm) :
2.1. Tunglé,
2.2. Aryang,
2.3. Warukúng,
2.4. Paningrón,
2.5. Uwas,
2.6. Mawulu.

3. Padinan (Saptåwårå) : étungan dinå cacah 7 (pitu) :
3.1. Ahad utåwå Minggu (Dhité, Radhité, Radhityå),
3.2. Sênèn (Somå),
3.3. Sêlåså (Anggårå),
3.4. Rêbo (Budhå),
3.5. Kêmís (Rèspati, Wrahaspati),
3.6. Jêmuwah (Sukrå),
3.7. Saptu (Tumpak, Saniscårå).

4. Padéwan (Haståwårå) : étungan dinå cacah 8 (wolu):
4.1. Sri,
4.2. Indrå,
4.3. Guru,
4.4. Yåmå,
4.5. Rudrå,
4.6. Bråmå,
4.7. Kålå,
4.8. Umå.

5. Padangón (Nåwåwårå) : étungan dinå cacah 9 (sångå) :
5.1 Dangu,
5.2. Jagúr,
5.3. Gigís,
5.4. Kérangan,
5.5. Nohan,
5.6. Wogan,
5.7. Tulús,
5.8. Wurúng,
5.9. Dadi.

6. Wuku (minggu) ånå 30 (têlúng pulúh) :
Sintå, Landhêp, Wukír, Kuranthil, Tolu, Gumbrêg, Warigalít,
Warigagúng, Julúngwangi, Sungsang, Galungan, Kuningan, Langkír,
Måndhåsiyå, Julúngpujúd, Pahang, Kuruwêlút, Marakèh, Tambír,
Madhangkungan, Maktal, Wuyé, Manahíl, Prangbakat, Bålå, Wugu,
Wayang, Kulawu, Dhukút, Watugunúng.

7. Sasi ånå 12 (rolas) :
Surå, Sapar, Mulúd, Bakdåmulúd, Jumadilawal, Jumadilakir, Rêjêb,
Ruwah, Påså, Sawal, Dulkaidah, Bêsar.

8. Tahun ånå 8 (wolu) :
Alip, Éhé, Jimawal, Jé, Dal, Bé, Wawu, Jimakír.

9. Windu (umúr 8 tahun) cacahé ånå 4 (papat) :
9.1. Windu Adi (Linuwíh),
9.2. Windu Kuntårå (UIah),
9.3. Windu Sêngårå (Panjír), lan
9.4. Windu Sancåyå (Sarawungan).
Lakuníng Windu saubêngan ånå 32 taún.

10. Lambang (umúr 8 tahún) cacahé ånå 2.
Jênêngé urút jênêngé Wuku manut tumibané tanggal 1 Surå taun Alip
ånå ing dinå kang klêbu ing Wuku síng kanggo jênêng.
Lakuníng Lambang saubêngan ana 16 taun.

11. Kurup (umur 15 windu = 120 tahún).
Jênêngé Kurúp ånå (7) pitu, manút tibané dinå tanggal 1 Sura taun
Alip : Tibå dinå :
11.1. Jêmuwah – Jamngiyah,
11.2. Kêmís- Kamsiyah,
11.3. Rêbo – Arbangiyah,
11.4. Sêlåså – Salasiyah,
11.5. Sênèn – Isnaniyah,
11.6 Akad – Akadiyah, lan
11.7 Sabtu – Sabtiyah.

12. Mångså (sasi manút Suryåsangkålå, Tahún Såkå) :
12.1. Kåså = Karttikå,
12.2. Karo = Puså,
12.3. Katêlu = Manggasri,
12.4. Kapat = Citrå,
12.5. Kalimå = Månggåkålå,
12.6. Kanêm = Nåyå,
12.7. Kapitu = Palgunå,
12.8. Kawolu = Wisåkå,
12.9. Kasångå = Jitå,
12.10. Kasapulúh = Srawånå,
12.11. Dhastå (Kasêwêlas) = Pådråwånå,
12.12. Såddhå (Karolas) = Asuji

No comments:

Post a Comment